(Buku Kursus Bahasa Turki)
Bercerita tentang Istanbul tidak akan pernah ada habisnya, bagiku tempat itu cukup unik, magis dan membingungkan. Negara pertama yang kusinggahi, enam bulan kuhirup udara yang melintasi benua Asia dan Eropa di sekitar selat yang ramai dan sibuk itu, ya selat Bosphorus.
Awalnya terasa seperti mimpi, kalau diingat-ingat, dulu sekali aku pernah membaca sebuah novel berjudul Istanbul With Love karangan Putri Indri Astuti di tahun terakhirku di SMP yang akhirnya dengan kuasa-Nya Januri 2022 lalu, aku terdampar di sana. Kusinggihani tempat-tempat yang dikunjungi Pia dengan prianya. Tak luput dari rasa syukur dan haru, berikut suka dan duka yang mengiringi kehidupanku di sana.
Kini kulihat Istanbul dengan kacamata berbeda, tidak hitam atau putih tetapi sungguh beraneka warna. Pun kini, semua hal yang tak bisa kulupa tinggal dan menetap di sana, hal-hal mendasar seperti makanan yang pada awalnya terasa asing dan hambar hingga akhirnya menjadi makanan yang kurindukan. Tak hanya itu, tempat-tempat yang kusinggahi pun punya ruang tersendiri dalam ingatan. Bagaimana tidak, kuhabiskan waktuku dengan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, bukan hanya untuk sekadar berwisata tetapi menggeret koper ke sana kemari, dimulai dari jalan kaki di bawah panasnya terik matahari hingga mencari AC di metro sudah menjadi hal biasa bagiku.
Datang dengan titel au pair itu hanya bertahan tiga bulan pertama, kusudahi dan kutinggalkan host family-ku yang saat ini sedang ku ingat-ingat kebaikannya itu, yang setelahnya membawaku untuk mencari cara agar tidak pulang begitu saja ke Indonesia dan menghidupi diri sendiri di negeri orang tanpa membebani orang tua. Kujemput hal itu dengan berbagai cara karena bagaimanapun juga aku bertanggung jawab atas pilihanku dan berakhir bekerja sebagai part-time nanny dari satu keluarga ke keluarga lain.
Selama tiga bulan setelah keputusan itu, berbekal ijin tinggal yang masih berlaku, aku memulai pekerjaan baru dengan memasukki berbagai macam keluarga, dari keluarga asli Turki, pernikahan campuran yakni keluarga Turki-Albania, hingga keluarga campuran Turki dan negara tetangganya, Yunani. It was really challenging and exhausted for me.
Pekerjaan membawaku melihat sisi lain dari keberagaman keluarga yang berkali-kali kuucapkan ke pikiranku bahwa ini part of learning, secara tidak langsung kupelajari bagaimana pasangan-pasangan yang memiliki keluarga ini menjalani perannya sebagai suami, istri, orang tua, menantu dan bos bagi diriku sebagai pegawainya.
Kudapati hal-hal baru yang kupikir menarik, salah satunya adalah bagaimana mereka memandang bahasa sebagai hal yang cukup menonjol terutama dari cara mereka mencari kandidat nanny untuk menjadi pengasuh anak-anak mereka.
Sebagai orang asli Indonesia yang berbahasa Sunda dan Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, tentu aku bukan penutur asli bahasa Inggris pun tidak terlalu cakap berbahasa internasional tersebut. Dan ternyata nanny-nanny Indonesia menduduki urutan kedua dalam kecakapan berbahasa ini, yang ternyata banyak dicari oleh keluarga-keluarga yang membutuhkan nanny karena mereka mencari "kebiasaan" dalam berbahasa Inggris, untuk yang selanjutnya mengajari anak-anak mereka agar terbiasa berbicara dalam bahasa Inggris.
Anehnya, seorang nanny tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Turki ketika sedang bekerja atau tengah bersama anak mereka, hal ini kutemukan kala aku bercerita bahwa aku mengerti baby talk dalam bahasa Turki. Mereka dengan tegas melarangku. Pun hal itu kutemui di berbagai job vacany yang tersedia di beberapa grup baik au pair ataupun nanny di Facebook yang melarang keras untuk berbicara dengan bahasa Ibu mereka.
Tak terlepas dari hal itu, kecakapan berbahasa Inggris menjadi penentu dalam menentukan akan dibayar berapakah kita (nanny) untuk bekerja di keluarga-keluarga tersebut. Sepengetahuanku, nanny dibayar dimulai dari kisaran 600$ hingga 2000$ (tahun 2022) perbulannya, bayaran tersebut bergantung pada kecakapan berbahasa asing juga pengalaman dan seberapa mampu kondisi finansial keluarga tersebut, pun deskripsi pekerjaan yang ditawarkan.
Selama di sana, pendapatanku tidak menyentuh angka itu, aku hanya seorang pekerja part-time yang hanya cukup untuk hidup dari bulan ke bulan. Haha. Saking menariknya hal ini, pernah suatu hari aku bertemu dengan salah satu teman lokalku, dia bercerita bahwa teman kampusnya pernah menulis tesis mengenai eksistensi nanny Filipina yang bekerja di keluarga Turki hanya dengan bermodal fasih dalam berbahasa Inggris.
Menarik?
Cerita tentang bahasa ini tak berakhir di sini, eksistensi fakta lain pun tak luput. Bahasa Inggris tidak begitu luas digunakan di Turki. Sebagai negara yang berada di tengah Asia dan Eropa, banyak masyarakatnya yang tidak tahu bahasa Inggris, hal ini kutemukan bukan hanya pada masyarakat umum tetapi pegawai pemerintahan setempat, lucunya pegawai imigrasi pun cukup jarang yang bisa berbahasa selain bahasa ibunya. Di samping itu, hal tersebut akan lebih terasa dan disadari ketika kita tinggal dekat atau di sekitar tempat tinggal masyarakat lokal dan jauh dari tempat turistik.
Sejak berpindah-pindah tempat tinggal, kesulitan-kesulitan karena bahasa sering kutemui, tak jarang ku bertemu warga lokal yang menolak mentah-mentah untuk menjawab pertanyaan sederhana. Tetapi tak jarang pula ada warga lokal yang memilih menemui orang asing untuk sekadar latihan berbahasa dan bertukar budaya, yang mana ini adalah kesempatanku juga untuk memulai percakapan sederhana dengan bahasa Ibu mereka, dari bertegur sapa hingga negosiasi harga di pasar adalah kegiatan favoritku.
Di samping itu banyak kok pelajar yang memang giat belajar bahasa khususnya bahasa Inggris untuk bisa pergi dari negaranya dan singgah di Eropa. Ah, kuingat sekali mereka yang menomortigakan orang Asia untuk sekadar menjadi teman atau bahkan pasangan. Eropa yang dipuja-pujanya.
Ada cerita lain tentang ini, dunia ku bersama anak-anak di sana. Suatu hari akan kutulis di sini.
Ditulis di Belanda pada Juli 2022 (P.S baru pindah).
Comments
Post a Comment