Ik krijg zo vaak de vraag "En? En?
Wat wil je worden?"
Dan krijg ik 't benauwd
Is dat nu al aan de orde?
Apa kabar?
Semoga selalu dalam keadaan baik, sentosa, dan bahagia.
Sebagai pembuka, saya ingin memindahkan apa-apa saja yang kerap menjadi pemantik pikiran berlebihan di pikiran ini pun ingin bertanya bahwa apakah teman-teman juga merasakan bulan suci Ramadan berlalu dengan amat cepat? Setiap hari berlalu bersama hembusan angin, tak terasa kini sudah memasuki malam kedua puluh. Saya doakan semoga saya dan semuanya dapat berjumpa dan menjalani Ramadan di tahun-tahun selanjutnya dan ketakwaan diri senantiasa melekat dan kian bertambah. Aamiin.
Ada beberapa hal yang ingin saya tulis dan lepaskan di blog ini, melalui tulisan-tulisan yang kian hari saya lupa mau menulis apa di tengah ramainya hal-hal yang terjadi belakangan ini. Dari #KaburAjaDulu, demonstrasi, dan lain-lain yang tepat satu tahun sudah menjadi gelisah dan takut saya.
Sesuai judul yang saya tulis, di bulan kelima setelah saya akhirnya dinyatakan lulus sebagai sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Terbuka (hip-hip hoera!), selang beberapa jam setelah melaksanakan shalat terawih, saya menemukan sebuah postingan yang rasanya cukup relate dan dekat sekali secara pribadi. Membawa ingatan ke tahun 2019, dua tahun pasca lulus SMA, saya jobless setelah setahun sebelumnya bekerja sebagai operator quality control di sebuah parbik yang jaraknya 30 menit dari rumah, yang duh kalau diingat luar biasa sekali pekerjaan resmi pertama saya juga bulan-bulan yang setelahnya dilalui dengan pulang-pergi ke bertemu dokter yang bawel di RSUD.
Ternyata sudah tepat lima tahun lalu, yang hampir setiap malamnya saya menangkap lantunan A million dreams yang dinyanyikan ulang Alexandra Porat,
Apabila direnungkan kembali, di kurun waktu lebih dari 365 hari tersebut, saya lalui dengan cukup frustrasi karena selain tak punya uang untuk melanjutkan kuliah atau ambil kursus, saya juga tak bisa bekerja karena keterbatasan fisik untuk kembali bekerja di pabrik sebagai operator dan tak punya kemampuan yang mumpuni untuk bekerja di lingkungan pekerja kerah putih. Hingga tibalah di beberapa bulan sebelum tahun 2019 berakhir, saya mendaftarkan diri dengan bermodalkan iseng ke salah satu yayasan yang memfasilitasi perempuan untuk mempelajari hospitatily yang membawa saya terbang ~1200 miles dari Jakarta untuk terbang dengan AirAsia yang tiketnya dibeli dari hasil menjual laptop pentium saya tuk menuju Denpasar. HIP-HIP, bulan Oktober 2019 menjadi kali pertama saya menaiki pesawat terbang dan melaju selama dua jam menuju pulau Bali, yang namanya dulu sering kali saya dengar dari cerita Ibu saya. Keinginan saya bersambut dengan kehidupan baru di Bali.
Bagaikan lahir kembali, harapan-harapan baru tak berhenti menguatkan diri saya dalam melihat pengetahuan, untuk juga membebaskan diri dari kesulitan. Di Bali, saya bertemu dengan banyak sekali teman baru, bahkan tuk pertama kalinya saya berani untuk berbicara bahasa Inggris dengan penutur asli. Di sana pula, saya berlatih untuk bangkit lagi, dari membangun kebiasaan di asrama hingga belajar bela diri. Bayangkan remaja yang baru menginjak usia 20 tahun, tiga tahun setelah dia lulus sekolah menengah atas baru saja mengikuti kursus di saat teman-teman saya yang satu tahun setelahnya menerima gelar sarjananya. Kesedihan hanya bumbu-bumbu yang sering bermunculan tapi harapan-harapan untuk bangkit rasanya lebih tinggi hadir di sana.
Selain belajar di asrama dengan bidang-bidang yang asing, saya juga berkesempatan untuk menjalani program magang langsung di sebuah perusahaan travel yang hingga detik ini, ingin saya ucapkan beribu terima kasih kepada Pak Dani yang menempatkan saya di Front desk , padahal saya apply di departemen accounting, yang apabila disadari keputusan beliau banyak membantu saya. Bagai bersambut, di masa itu, ya sudah masuk bulan pertama datanya virus corona di Indonesia, saya ditawarkan untuk bekerja sebagai personal assistant untuk GM di perusahaan tersebut. Namun, harus diurungkan sebab dalam kurun waktu dua bulan saja kondisi pariwisata Bali terkena dampak yang luar biasa dan saya memutuskan untuk kembali ke Bogor pasca program tersebut.
Katanya sejarah selalu berulang, ya sudah lima tahun yang lalu kita semua terdampak pandemi, tak terkecuali saya. Bermodalkan sertifikat magang dan ijazah SMA belum dapat memberi perubahan yang signifikan, di tengah pandemi, semakin sulit bagi saya untuk mendapatkan pekerjaan, hingga membangunkan keinginan lama untuk kuliah? melanjutkan ke perguruan tinggi dan mendapatkan gelar sarjana?
Pertengahan tahun pertama pandemi tersebut, yang hingga kini saya masih saya impikan nikmatnya ibadah di kala itu, dengan niat yang berubah, bukan lagi untuk mengikuti timeline kehidupan yang setelah SMA adalah melanjutkan kuliah, kerja, dan bekeluarga tapi untuk bisa mendapatkan pekerjaan dan menghidupi keluarga. Tak semenarik tawaran di Bali, saya akhirnya bekerja di sebuah perusahaan reel estate yang jaraknya hanya dua kilo meter dari rumah, sembari kuliah di Universitas Terbuka dengan mengambil program studi Ilmu Komunikasi. Melewati satu semester dan setengah pertama dengan semangat belajar yang saya impikan dari dulu,
"Ya Allah, terima kasih, saya akhirnya bisa kuliah."
Menjalani kuliah di Universitas Terbuka dan menjalani pekerjaan yang pertama kalinya. Pikir saya kala itu, saya akan dapat menyelesaikan kuliah setidaknya 3.5 tahun, tetapi kenyataan berkata lain, ternyata empat tahun totalnya.
Sejak dimulainya perkuliahan yang diikuti terkabulnya satu-satu doa saya, saya akhirnya pindah kerja di tahun setelahnya di sebuah perusahaan garment, yang tak bertahan lama,
Lagi dan lagi, masalahnya selalu karena saya tidak punya ijazah sarjana dan ketidakpercayaan diri saya,
Saya kena bully yang dilakukan secara terang-terangan oleh seseorang yang menurutnya saya tidak pantas bekerja sebagai Merchandiser karena saya bukan sarjana, dan baru saja kuliah.
Saya berhenti kerja, saya pulang lagi. Mental saya bukan lagi seperti tempe rasanya seperti alpukat busuk.
Kesedihan tak berkesudahan menemai saya berbulan-bulan,
Hingga akhirnya saya pindah kerja lagi, Allah Yang Maha Baik, memberi kesempatan saya untuk bekerja di sekolah,
Loncat-loncat? betul, saya ingin mencoba banyak hal, yang bertahun-tahun setelahnya saya sesali karena hal tersebut tidak baik, tidak memberikan saya manfaat signifikan dan skill yang spesifik untuk bekerja.
Pasca menjadi victim bullying yang ternyata hingga saat ini masih membekas, memberi banyak sekali dampak buruk, fisik dan mental saya jatuh bukan main, seperti membuka lembaran lama, saya berulang kali masuk rumah sakit hingga kejadian paling membekas adalah setelah saya terjatuh di lantai sekolah dan didiagnosa low back pain hingga akhirnya saya melepaskan pekerjaan saya, di sisi lain kuliah saya masih berlanjut.........
yang apabila diingat-ingat, kepala sekolah tempat saya bekerja ternyata melabeli saya sebagai "lulusan SMA yang tak perlu digaji layak", yang selanjutnya "cukup saja diberi pekerjaan", saya tahu mengapa saya selalu diberi gaji telat, privasi saya diperkosa dan mental saya dirusak luar biasa. Kadangkala, naluri jahat saya ingin sekali membuka hal ini bagaikan investigasi,
Jika berkaca pada apa yang sudah dilewati, hal berbalik hari ini, kini saya sudah memiliki gelar sarjana, lalu apa lagi kurangnya? ya, sudah bertambahnya umur yang menurut recruiter, riwayat pendidikan dan usia saya sudah tidak relevan, saya sudah seharusnya memiliki gelar master seperti lumrahnya kebanyakan orang. Masih perlu belajar banyak, ya tentu hal ini saya sadari.
Oh Tuhan,
harus dipukul pula ke lima tahun yang lalu?
Sebelum mendapatkan pekerjaan, saya selalu mencari jenis apapun pekerjaan yang saya bisa kerjakan, dari cleaning service hingga pengasuh anak hingga menjadi pekerja migran untuk bisa menghidupi diri dan keluarga saya. Ingin saya di tahun-tahun tersebut, saya diterima kerja, menerima upah dan dapat bertahan hidup.
Tadi sekali saya membaca bahwa seseorang curhat di Twitter, dia sedih, katanya, beberapa lulusan sarjana yang terkena PHK atau kontraknya tak diperpanjang memilih melamar pekerjaan sebagai asisten rumah tangga (ART).
Kembali ke beberapa paragraf pembuka, kini memang semuanya berbalik, orang-orang yang memiliki ijazah "ini" juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, sebab karena diberhentikan karena PHK besar-besaran atau memang baru lulus. Persaingan lebih luar biasa dari tahun 2019-2020, apabila teman-teman banyak menggunakan Jobstreet sebagai platform untuk mencari pekerjaan, ribuan orang menggunakan hal yang sama, dari pekerja kerah biru, kerah putih, dan tak berkerah pun orang-orang kini berebut. Tak peduli latar pendidikan apapun yang dimilikinya, dapur ngebul lebih penting daripada gengsi.
Hello masa laluku, apakah kamu kembali lagi?
Akankah kita belajar dari masa lalu?
Akankan kita menuju cahaya, door toot licht?
Dapatkan kita menjadi apa yang kita mau?
Dokter, guru, pelukis, membahagiakan orang tua kita?
Jij kan worden, worden wat je wil
Waarmee maak jij 't verschil?
#Ikbennietaleen
P.S saya hanya curhat saja, tahun-tahun tersebut juga saya mark as tahun-tahun saya membentuk jati diri saya, tak hanya dalam bekerja juga aspek kehidupan lainnya :) saya bersyukur diberi kesempatan untuk terus level up sebagai human being :)
Ditulis di rumah, selepas habisnya kopi alpukat (eksprerimen 1).
Comments
Post a Comment