Dari dulu aku gak pernah ngerasa kalau aku bisa masuk kotak. Maksudku, aku tidak pernah memilih-milih teman, bisa berbaur dengan siapa saja-- dengan berbagai orang dengan identitas sosial yang berbeda-beda. Melakukannya dengan harapan dapat menemukan tempat di salah satu kotak itu. Bertahun-tahun tenggelam dalam pencarian dan berakhir berperang dan kehilangan diri sendiri.
Akhir Januari lalu, aku meninggalkan urusanku di Jakarta dan memilih menukarnya dengan hal-hal baru di Istanbul. Menukar berarti menyubtitusi banyak hal, termasuk teman dan cara menjalani kehidupan. Sedikit cerita, aku menginjakkan kaki dengan titel Au Pair di kota yang dalam sejarah di kenal sebagai Konstantinopel dan Bizantium ini. Terdengar asing kah? singkatnya Au Pair ini progam pertukaran budaya dengan menjaga anak-anak yang ada di sebuah keluarga yang kita tinggali sebagai adisional. Ngapain aja itu? hehe nanti kucoba ceritakan di lain waktu. Aku datang tanpa ekspektasi, mengingat kondisi terakhirku cukup merepotkan ditambah banyak sekali hal unik yang kulalui, terhitung perjalanku.
Kuingat sekali, pagi itu badai salju turun sangat tebal dan menutupi seantero kota Istanbul. Kala aku transit di Doha, penumpang tak henti-henti menyampaikan keluhannya lantaran keberangkatan pesawatnya ditunda berjam-jam dan mau tidak mau harus menunggu cuaca membaik lalu mengudara kembali.
Bagai ucapan selamat datang, hal-hal yang kupikir unik itu tak berhenti kutemui, singgah dan memadati pikiran. Tak jarang kuhubungi teman-teman hingga dosen untuk sekadar menyampaikan cerita yang di dalamnya didominasi keluhan dan keinginan untuk putar balik dan kembali pada rutinitas di Jakarta yang mungkin harus kumulai dari nol kembali.
Tulisan ini mungkin pembuka untuk cerita-cerita selanjutnya, keunikan-unikan itu akan kusampaikan di sini. Cerita yang mungkin tak memberi makna apalagi pengetahuan sebab isinya hanya perang pikiran.
Disampaikan di hari Raya Idul Fitri.
Istanbul, Mei 2022.
Comments
Post a Comment